The grass root of metal movement
Bicara tentang band tentu juga akan bicara tentang para penggemarnya. Sudah wajar jika keberadaan sebuah band pasti akan memunculkan orang – orang yang kemudian menjadi penggemarnya dan bahkan peran penggemar menjadi demikian vital bagi sebuah band.Dalam perkembangannnya, orang – orang ini kemudian secara alami membentuk komunitas mereka sendiri. Bisa karena didasari kegemaran akan sebuah band, atau kegemaran akan sebuah genre tertentu. Ketika komunitasnya semakin membesar, mereka akan membelah diri menjadi kelompok – kelompok yang lebih kecil yang biasanya terpetak secara regional. Di Solo pun demikian.
Salah satu komunitas yang cukup besar di Solo adalah Pasukan Babi Neraka. Ini adalah komunitas yang pusat pusarannya terletak pada sosok Down For Life. Yup, Pasukan Babi Neraka adalah komunitas yang berkaitan dengan band yang dibentuk oleh vokalis Stephanus Adjie ini. Di dalamnya berkumpul orang – orang yang punya kepentingan dengan Down For Life, mulai dari para penggemar hingga para personilnya sendiri.
Komunitas ini sangat mudah ditemui di kawasan Kartopuran, di sebuah rumah yang juga berfungsi sebagai sebuah toko merchandise musik rock yang bernama Belukar Rockshop. Khusus untuk para penggemar, Pasukan Babi Neraka merupakan salah satu yang terbesar di Solo. Mereka terbagi dalam beberapa kelompok, menyesuaikan dengan wilayahnya masing – masing seperti Pasukan Babi Neraka Salatiga, Pasukan Babi Neraka Karanganyar, Pasukan Babi Neraka Sukoharjo dan sebagainya. Mereka inilah yang selalu muncul dan berada di baris depan panggung tiap kali Down For Life tampil di sekitar kota Solo maupun di luar kota Solo.
Komunitas lain yang juga cukup dikenal di Solo adalah Solo City Hardcore (SCHC). Komunitas ini muncul pada awal tahun 2000an di daerah Pasar Nongko. Dari komunitas inilah kemudian lahir band – band seperti Spirit of Life dan Never Again. Dari yang sebelumnya hanya merupakan ajang kumpul- kumpul sekelompok kecil anak muda penggemar hardcore, SCHC kini berkembang semakin besar dan beberapa kali memprakarsai event – event rock/metal di Solo.
Penggemar punk di Solo juga memiliki komunitas sendiri yang bernama Sriwedari Boot Bois. Sesuai namanya, Sriwedari Boot Bois memang sering berkumpul di seputaran joglo Sriwedari. Komunitas ini melalui label bernama Semangat Djoeang Record pada tahun 2010 memprakarsai produksi sebuah album kompilasi lokal berjudul The Gank Is Back yang menampilkan band – band kota Solo. Sriwedari Boot Bois merupakan komunitas dari band – band seperti Tendangan Badut, Anti Regime dan The OrakArik.
Kecenderungan membentuk komunitas metal/rock juga sudah terlihat pada dekade 80an dan 90an. Pagars atau Paguyuban Rock Solo adalah sebuah komunitas penggemar rock di Solo yang terbentuk pada dekade 80an dan aktif hingga dekade 90an. Sementara pada 90an komunitas yang terbentuk semakin banyak. Pada dekade ini tercatat ada Paragon (Parade Rambut Gondrong) yang dulu sering ngumpul di seputaran pusat perbelanjaan Beteng Plaza. Ketika bangunan Beteng plaza ludes terbakar oleh kerusuhan Solo 98, keberadaan komunitas ini pun perlahan memudar.
Komunitas lain bernama Grinder Troops kemudian muncul pada tahun 1993. Komunitas ini bisa dibilang merupakan komunitas extreme metal yang pertama di kota Solo. Makam adalah salah satu band yang dekat dengan komunitas ini. Pada 10 tahun perayaan keberadaannya, Grinder Troops menggelar sebuah event konser bernama Parrhesia Soloense pada tahun 2003. Tak kurang dari Makam, Death infected, Crywar, Lamphor dan sebuah band death metal asal Jepang bernama Pukelization tampil dalam acara ini.
Masih pada 90an juga, muncul komunitas bernama Nebula Corps Grinder yang bermarkas di sekitar Purwosari. Komunitas ini tak jauh beda dengan Grinder Troops. Kebanyakan band yang berada di bawah payung Nebula Corpse Grinder adalah band – band bergenre extreme metal seperti Maggots Collony, Torment dan Death Infected.
Kota – kota yang berada dalam wilayah eks-karesidenan Surakarta seperti Karanganyar, Boyolali, Sragen, Sukoharjo dan Klaten juga sedikit banyak memberi pengaruh pada perkembangan scene rock/metal di Solo. Komunitas – komunitas metal pun tumbuh marak di kota – kota ini. Kabupaten Karanganyar punya komunitas bernama Lawu Gods. Band-band dari Karanganyar juga cukup banyak. Sebut saja seperti Lelembut, Dibal atau Bankeray.
Sementara di Boyolali pada dekade 90an muncul komunitas bernama Deadly Sickness Radiation (DSR). DSR kemudian surut pada awal 2000an. Meski demikian komunitas metal Boyolali tak ikut terhenti pergerakannya. Setelah DSR, muncul komunitas baru bernama Bajang yang pada tahun 2003 menggelar sebuah acara metal bertajuk Sociality Total Sickness I yang baru pada 2010 lalu diselenggarakan kembali edisi keduanya.
Sragen pun tak mau kalah dengan memunculkan beberapa band dan komunitas metal. Wilayah yang dulunya bernama Sukowati ini punya komunitas bernama Sragen Corpse Grinder yang kemudian berubah menjadi Sragen Rock Movement. Beberapa band yang muncul dari Sragen adalah Total Scream, Defragment Otak, Keluarga Berengsek dan The All Prosthesis.
Selain Karanganyar, Boyolali dan Sragen, wilayah – wilayah lain yang mengelilingi kotamadya Surakarta juga tak lepas dari pergerakan para metalheads. Lamphor adalah band andalan Klaten dalam urusan black Metal. selain Lamphor, Klaten juga punya Death Stumble yang memainkan death metal dan baru terbentuk pada 2009 lalu. Sementara di Sukoharjo muncul kelompok penggemar death metal bernama Sukoharjo Death Metal. Sukoharjo juga punya band – band seperti Intended Suicide dan Obor Setan yang dulunya bernama Gerandhong.
The media, the mayor and the stores
Tumbuh suburnya komunitas – komunitas dan band – band metal di wilayah Solo memang tak lepas dari atmosfir yang mendukung hal tersebut. Peran media adalah salah satu faktor yang penting dalam perkembangan scene musik rock di Solo.
Beberapa media lokal Solo memang terhitung intens dalam mengangkat berita – berita atau acara – acara tentang musik rock/metal. Dulu pada tahun 90an, radio SAS FM yang memancar dari kawasan Solo Baru punya acara khusus musik rock bernama Burock atau Bursa lagu – lagu rock. Memasuki dekade 2000an program acara berbau metal bisa ditemui di Solo Radio FM. Solo Radio juga menjadi salah satu media partner dari gelaran Rock In Solo.
Kota Solo juga punya pernah punya walikota yang dikenal sebagai sosok yang dekat dengan masyarakat Solo yaitu Joko Widodo. Saat menjabat walikota, kedekatan pria yang akrab disapa Jokowi ini boleh dibilang merata dengan semua kalangan masyarakat Solo termasuk dengan komunitas metal Solo. Konon kabarnya memang walikota yang sempat menjabat selama delapan tahun ini punya hobi mendengarkan musik – musik cadas. Orang yang kini menjabat sebagai gubernur Jakarta ini juga pernah ikut menonton gelaran Rock In Solo pada 2011 lalu. Down For Life sendiri pernah tampil dalam sebuah sesi akustik di hadapan Jokowi juga pada tahun 2011.
Satu faktor lain yang juga ikut memberikan suasana yang kondisional bagi perkembangan scene rock Solo adalah keberadaan toko – toko merchandise rock. Salah satu yang saat ini menjadi destinasi utama para metalheads yang ingin mencari merchandise musik rock adalah Belukar Rockshop yang terletak di sebuah ruas jalan di daerah Kartopuran. Di toko yang dikelola oleh Stephanus Adjie dan kawan – kawan ini bisa ditemui t-shirt – t-shirt band – band lokal maupun mancanegara, CD album band – band metal dalam dan luar negeri sampai aksesoris seperti topi, bandana, dompet, tas dan pin yang tentu saja rata-rata berbau metal.
Belukar bukanlah satu-satunya rockshop yang ada di Kota Solo atau di eks-karesidenan Surakarta. Wilayah ini boleh dibilang merupakan salah satu basis rockshop di tanah Jawa, karena toko-toko khas cadas ini bahkan sudah merangsek masuk bahkan hingga ke wilayah kecamatan dan pedesaan. Bukan tak mungkin suatu saat akan bisa menandingi gurita minimarket-minimarket kondang yang ada di mana-mana itu.
Let’s rawk in Solo!
Salah satu hal positif yang terjadi dalam scene musik Solo adalah kemauan para pelaku scene ini untuk berusaha memelihara kondisi yang mendukung bagi perkembangan musik rock di Solo. Perbedaan idealisme dalam memandang tujuan bermusik mungkin boleh berbeda satu sama lain, namun tidak harus menimbulkan benturan – benturan yang tak perlu. Maka hasilnya, Solo kini mulai menjelma menjadi kota yang mengangkat tinggi – tinggi musik cadas sebagai salah satu identitasnya, di luar identitas konvensional Solo yang selama ini sudah melekat pada kota ini seperti nasi liwet, Keraton Surakarta Hadiningrat, Pasar Klewer, Batik Solo, timlo dan sebagainya.
Keabsahan kota ini sebagai kota yang mengalami kemajuan pesat dalam pergerakan musik rock dan metal paling gampang bisa dilihat pada hajatan tahunan Rock In Solo. Ribuan metalheads dari berbagai kota di Indonesia tumpah ruah dalam sebuah venue besar, tanpa henti menikmati gempuran musik – musik cadas dari berbagai genre yang dibawakan oleh band – band cadas, adalah sebuah pemandangan yang sebelumnya tak pernah muncul di kota berpenduduk sekitar 500.000 jiwa ini.
Maka jika di Finlandia ada kota Oulu yang berpenduduk 140.000 jiwa dan punya festival metal Jalometalli (The Precious Metal) dan di Jerman ada kotamadya yang bahkan lebih kecil dan berpenduduk hanya 1.800 jiwa yang terkenal dengan festival metal besar Wacken Open Air, anak – anak muda di Solo pun menunjukkan bahwa Solo juga mampu menggelar acara semacam itu melalui Rock In Solo, tentu dengan kekhasan dan keunikan budaya lokal Solo yang tak mungkin disamai oleh festival – festival sejenis di tempat lain. Ambil contoh, Makan nasi liwet khas Solo sambil menikmati suguhan konser musik metal bisa menjadi pengalaman yang cukup unik, karena hal seperti itu cuma ada di kota Solo.
Rock In Solo bisa menjadi event yang semakin besar lagi pada tahun – tahun mendatang yang tak hanya akan berpengaruh dan memberikan manfaat bagi perkembangan scene dan komunitas rock/metal di Solo saja tapi juga kepada pihak – pihak lain. Setidaknya para penjual makanan dan minuman yang tersebar di sekitar tempat acara pada setiap kali perhelatan pasti juga ikut mendapat keuntungan atau rejeki dari Rock In Solo.
sumber: http://rockinsolo.com/main/berita/geliat-musik-cadas-kota-bengawan-bagian-3