Kesan apa yang biasanya mampir di benak jika kita mendengar nama Solo disebut? mungkin orang akan banyak yang menjawab timlo, nasi liwet, batik Solo, keraton dan identitas – identitas kota Solo lainnya. Hampir tak pernah muncul kata “rock” atau “metal” jika orang berpikir tentang Solo. Wajar, karena jika mengamati dinamika pergerakan scene musik rock di banyak kota di Indonesia dari tahun ke tahun, kiprah kota Solo memang terhitung sangat jarang terdengar. Jika kota – kota lain sudah memulai pergerakan musik rocknya sejak tahun 60-70an dan punya banyak jagoan dalam kancah musik rock di Indonesia, Solo sepertinya kalem – kalem saja.
Tapi benarkah demikian? Lalu kenapa Solo banyak dibicarakan oleh para penggemar musik rock di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini? Siapa sajakah band – band yang berasal dari kota Solo? Apa itu Pasukan Babi Neraka? Berikut adalah catatan perjalanan scene musik rock di kota Solo dihimpun dari berbagai literatur dan obrolan dengan beberapa pelaku scene musik rock kota Solo.
60’s – 70’s era : It was all started in Manahan
Pada dekade 60an, di kawasan Manahan, Solo, muncul sekelompok anak muda gondrong yang sering berlatih main musik di dalam garasi sebuah rumah. Musik yang dimainkan tergolong keras pada jaman itu. Dan berhubung mereka berlatihnya di sebuah garasi rumah (karena saat itu belum dikenal adanya rental studio latihan di Solo) maka suara musik yang mereka mainkan pun bisa terdengar sampai ke jalanan di depan rumah mereka. Banyak orang yang kemudian berkerumun untuk menonton kelompok band beranggotakan lima personil ini berlatih.
Orang – orang kemudian mengenal band dari Manahan ini dengan nama Taruna Cemerlang atau Ternchem. Dengan menggunakan alat musik yang sebagian merupakan buatan sendiri dan peralatan sound yang disetel sekeras mungkin setiap kali berlatih, Ternchem menandai lahirnya scene musik rock di kota Solo pada penghujung dekade 60an dengan banyak memainkan karya – karya musisi rock barat masa itu macam Deep Purple, Jimi Hendrix, The Who dan Grand Funk Railroad.
Band yang punya vokalis nyentrik bernama Bernard Parnadi ini kemudian merangsek menjadi salah satu band rock yang dikenal punya aksi panggung fenomenal dalam percaturan musik rock Indonesia ada akhir 60an hingga dekade 70an berbarengan dengan nama – nama tenar lain seperti Giant step (Bandung), AKA (Surabaya) dan God Bless (Jakarta). Pada dekade 70an pamor band – band rock manca negara seperti Blue Cheer, Deep Purple, Led Zeppelin dan Black Sabbath memang sangat mendominasi yang pada akhirnya menginspirasi anak – anak muda di Indonesia untuk membentuk band – band rock sejenis.
Ternchem yang pada awal 70an sudah mulai dikenal di luar kota kelahirannya pun tak mau kalah dengan koleganya di kota lain. Ternchem dikenal dengan aksi panggungnya yang kerap menampilkan aksi teatrikal seperti membawa ular dan mengusung peti mati ke atas panggung atau bermain – main dengan api. Vokalis Bernard Parnadi pernah melakukan aksi membakar topi yang dipakainya.
Ternchem juga mulai melakukan rekaman pada tahun 1970 dan menghasilkan album pertamanya berjudul “Deremaco”. Lagu – lagu di album tersebut sangat kuat nuansa hardrocknya yang sebenarnya pada saat itu masih belum banyak pendengarnya di Indonesia. Meski demikian, album ini sempat melejitkan sebuah hit berjudul Jaman Edan. Sepanjang karirnya, Ternchem merekam album sebanyak tiga kali hingga tahun 1975. Setiawan Djody pernah bergabung dengan Ternchem dalam beberapa konser, namun ketika Ternchem hendak merekam album perdananya, Setiawan Djody keluar karena harus pergi ke Amerika.
Konser – konser band asal Solo ini selalu ramai. Konser mereka pada masa itu tidak hanya berkutat di pulau Jawa saja, mereka bahkan bergerak sampai ke kota – kota di Sumatera. Dalam setiap konser, vokalis Bernard Parnadi dikenal dengan teriakan khasnya yaitu : “ I’ll bring you…..FIRE!! “ setiap kali mengawali konser . Sesaat setelah Bernard berteriak, api akan menyala di panggung diikuti intro lagu “Fire” milik Arthur Brown yang biasa mereka gunakan sebagai opening song.
Memasuki akhir dekade 70an, Solo kembali memunculkan sebuah band rock yang cukup dikenal. Namanya Destroyer. Band yang terbentuk pada pertengahan 70an ini gemar menggunakan mercon sebagai bagian aksi panggungnya. Mercon yang digunakan tidak tanggung – tanggung, sehingga sampai pernah membawa petaka.
Sebuah catatan menyebutkan bahwa dalam sebuah pertunjukan pada tahun 1976, Destroyer pernah membawa sebuah lonceng besar berisi serbuk mercon yang akan dinyalakan pada saat mereka beraksi di panggung. Entah bagaimana ceritanya, serbuk mercon dalam lonceng itu meledak ketika para tehnisi tengah berusaha menghidupkan kembali peralatan di atas panggung yang basah oleh hujan yang turun sebelum pertunjukan. Lonceng berisi serbuk mercon itu pecah berantakan dan kepingannya melukai beberapa orang.
Selain Destroyer dan Ternchem, pada tahun 70an Solo juga punya satu lagi band rock lain yang cukup dikenal yaitu Yap Brothers. Band ini meski lebih populer sebagai band disko, namun perjalanan karir Yap Brothers juga tak lepas dari genre musik rock. Tak berbeda dengan Ternchem, Yap Brothers juga banyak memainkan lagu – lagu band barat seperti Led Zeppelin dan Deep Purple. Band yang terdiri atas Chris Yaputranto , Indrianto Yaputranto, Eduardo Yaputranto, Iwan Yaputranto, dan Iwan Murjanto ini sempat menghasilkan beberapa album rekaman. Ternchem dan Yap Brothers sering dianggap sebagai dua band yang krusial dalam perkembangan musik rock di kota Bengawan.
Era 60 dan 70an bisa dibilang merupakan era yang cukup signifikan dalam perkembangan scene musik rock di kota Solo. Meski tak mampu melahirkan band – band yang long – lasting sampai saat ini, namun keberadaan Ternchem, Destroyer dan Yap Brothers cukup menunjukan bahwa kota Bengawan juga ikut menggeliat bersama kota – kota lainnya dalam kancah musik rock di Indonesia pada era 60 dan 70an, meski ironisnya pada dekade 80an Solo justru agak melempem dalam melahirkan band – band rock yang berkualitas.
80’s era : The heat didn’t really disappear
Hiruk pikuk musik rock di kota Solo memang agak meredup pada era 80an, terutama pada awal hingga pertengahan 80an. Tak terlalu banyak band – band asal Solo yang berkiprah dengan pencapaian seperti para pendahulunya pada era 60 – 70an. Perubahan trend musik dunia yang cenderung mengarah ke disko dan pop pada dekade 80an sedikit banyak juga mempengaruhi perkembangan scene musik rock di Solo.
Baru pada akhir 80an, gairah rock kembali muncul di kota Solo. Adalah band – band seperti Magnum dan Spektrum yang awalnya hanya berkiprah di lingkungan kampus UNS namun kemudian bertransformasi menjadi band yang dikenal dengan nama Kaisar. Band ini menemui momentum terbesar dalam karirnya ketika berhasil masuk 10 besar Festival Rock Indonesia ke V garapan Log Zhelebour pada tahun 1989.
Singlenya yang berjudul “Kerangka Langit” menjadi salah satu andalan dalam album kompilasi “10 Finalis Festival Rock Indonesia V” keluaran Logiss Record pada tahun 1990. Pada gelaran Festival Rock Indonesia berikutnya (tahun 1991), Kaisar akhirnya berhasil meraih juara pertama sekaligus sekali lagi berkesempatan merekam single mereka berikutnya yaitu “Garis – Garis Bintang” dalam album kompilasi “10 Finalis Rock Indonesia VI”. Sebagai band rock yang pada akhir 80an dan awal 90an cukup dikenal di Indonesia, Kaisar pun sudah melakoni banyak pementasan di sekeliling nusantara bahkan ke Malaysia.
Pamor Kaisar menurun pada pertengahan 90an setelah mereka merilis full album pertama mereka yang berjudul “Mulut Angin” pada tahun 1994 yang ternyata kurang sukses. Kaisar kemudian menghilang hingga akhir 2000an dikarenakan mengalami vakum. Band yang pada masa jayanya dulu di perkuat oleh Didik (bass), Yudi (keyboard), Burhan (drum), Kecuk (gitar), Banasir (vocal) ini mencoba kembali berkiprah pada tahun 2008 lalu lewat rekaman berjudul “Kaisar Cinta” minus dua personil intinya yaitu Banasir dan Kecuk yang digantikan oleh gitaris dan vokalis lain. Namun kiprah mereka nampak kurang mendapat respon dari publik, kemungkinan karena pada dekade 2000an genre musik rock sudah berkembang lebih jauh dan dinamis, selain karena band – band baru yang lebih muda dan fresh juga mulai bermunculan di kota Solo sejak dekade 90an.
90’s era : The embryo of a massive movement
Pada awal 90an ada dua band metal besar yang mampir di Indonesia yaitu Sepultura pada tahun 1992 dan Metallica pada 1993. Hadirnya dua band papan atas tersebut semakin mamicu naiknya pamor metal yang sebelumnya memang sudah mulai mewabah di kota – kota di Indonesia. Seiring dengan itu pula pergerakan scene musik rock di kota – kota besar utamanya di pulau Jawa mulai mengarah ke genre – genre seperti death metal, black metal, grincore, punk, hardcore dan genre – genre lainnya. Solo pun ikut berkembang dengan memunculkan band – band sejenis. Makam adalah salah satu band Solo yang terbentuk pada dekade 90an dan termasuk salah satu band yang awet hingga saat ini.
Makam yang terbentuk pada tahun 1995 menjadi salah satu band pionir genre black metal di Solo. Lirik lagu mereka yang kebanyakan bertemakan tentang kepercayaan Kedjawen dan paganisme menjadi salah satu trade mark band yang dikomandoi oleh vokalis Djiwo Ratriarkha ini. Semakin meluasnya pergerakan genre extreme metal di tanah Jawa pada 90an menjadi salah satu momentum dalam kiprah Makam. Band ini banyak tampil di acara – acara musik bertegangan tinggi seperti Jogja Brebeg di Yogyakarta yang memang sudah sering digelar sejak dekade 90an.
Makam juga menjadi satu di antara sedikit band era 90an asal Solo yang sudah merilis album yaitu “Hymns For Sacrificed Souls” pada tahun 2007, meskipun album ini merupakan album split, di mana Makam berbagi cakram bersama Adokhsiny, sebuah band black metal asal Korea Selatan. Sebelum merekam album split ini, sepanjang 1997 hingga 2006 Makam merilis demo – demo yaitu “Sympathy For The Beast” dan “Makabre Amuletha”. Pada 2013 Makam mengeluarkan sebuah single anyar berjudul “Tjleret Taon”. Single ini kabarnya juga akan disusul dengan sebuah album baru yang masih belum jelas kapan akan dirilis.
Masih dari genre black metal, setelah Makam muncul satu band yang bernama Bandoso. Sama dengan Makam, Bandoso pun tampil dengan balutan musik black metal yang cukup kental, meski mengusung tema lirik yang agak berbeda dengan Makam. Bandoso lebih banyak bercerita tentang tema – tema kematian. Salah satu dokumentasi rekaman yang telah dibuat oleh Bandoso adalah sebuah extended play (EP) atau mini album berjudul “Kegelapan Dalam Keabadian” pada 2004. Bandoso juga pernah melepas sebuah album live berjudul “Totally Destroy Manahan”. Ini adalah album live yang direkam ketika mereka melakukan konser di Manahan pada 2007. Sementara rilisan teranyar mereka adalah album “Semesta Paradoks” yang dirilis pada Oktober 2012.
Pada dekade 90an pula genre punk mulai marak di Solo. Salah satu band yang lahir dari genre ini adalah Tendangan Badut. Tendangan Badut juga sudah merekam lagu – lagunya yang kemudian beredar di kalangan para penggemar dan komunitasnya. Lahirnya Tendangan Badut tak lepas dari munculnya komunitas punk yang biasa bermarkas di seputaran Sriwedari.
Selain ketiga band di atas, pada dekade 90an juga lahir band – band seperti Crywar, Torment, Eruption, Hellstorm dan Fatal Sickness, meski sebagian besar dari mereka masih belum mendokumentasikan karya dalam bentuk album. Kebanyakan baru merilis demo. Namun setidaknya hal ini menunjukkan bahwa sejak pertengahan hingga menjelang akhir 90an scene rock/metal kota Solo mulai menunjukkan kegairahan baru dengan banyaknya band – band yang lahir serta semakin variatifnya genre yang bermunculan. Tapi ini hanya merupakan sebuah awal dari sebuah perkembangan besar yang akan muncul berikutnya dalam scene musik rock di kota yang terkenal dengan Pasar Klewernya ini.
(to be continued..)
sumber: http://rockinsolo.com/main/berita/geliat-musik-cadas-kota-bengawan-bagian-1/#sthash.kPAvrig9.dpbs
No comments:
Post a Comment